Rabu, 03 Desember 2014

PEREKONOMIAN GLOBAL



KENAIKAN SUHU BUMI MENGANCAM KEHIDUPAN PEREKONOMIAN GLOBAL

Vegi Dwi Januaristy
SI Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo
      
      Beberapa tahun terakhir ini saya yakin kita semua merasakan suhu di lingkungan sekitar kita semakin hari semakin panas. Udara yang kita hirup-pun sangat kurang kandungan oksigennya. Bahkan akibat buruk dari perubahan suhu yang berakibat pada perubahan tekanan udara yang sangat signifikan ini dirasakan oleh negara tetangga kita, yaitu Filipina.

            Pada 8 November 2013, Topan Yolanda (Haiynan), salah satu badai terkuat yang pernah tercatat untuk memukul tanah, menghancurkan sebuah daerah yang luas dari Filipina tengah…(Asian Development Bank).
            Tidak hanya itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan lewat situs resmi Asian Developmen Bank kondisi ini kemungkinan akan terus memburuk dalam jangka panjang. Perubahan iklim akan terus meningkat khususnya di 6 (enam) wilayah negara berkembang di Asia Selatan (India, Bangladesh, Bhutan, Nepal, Sri Lanka dan Maladewa). Tanpa penyimpangan global dari jalur fosil-bahan bakar padat, Asia Selatan bisa kehilangan setara 1,8% dari Produk domestik bruto tahunan (PDB) pada tahun 2050, yang akan semakin meningkat menjadi 8,8% pada tahun 2100.

            Namun, jika komunitas global mengambil tindakan sepanjang perjanjian Kopenhagen-Cancun untuk menjaga suhu rata-rata global dibawah atau beranjak 2 derajat celcius, wilayah ini hanya akan kehilangan rata-rata 1,3% dari PDB pada tahun 2050 dan sekitar 2,5% pada tahun 2100. Dapak pada sektor-sektor yang rentan adalah sebagai berikut.

Pertanian
Suhu yang lebih tinggi akhirnya mengurangi hasil tanaman yang diinginkan serta mendorong gulma dan proliferasi hama. Perubahan curah hujan (waktu dan jumlah) meningkatkan kemungkinan kegagalan npanen jangka pendek dan penurunan produksi jangka panjang, berpose ancaman serius bagi ketahanan pangan. Meskipun akan ada keuntungan dalam beberapa tanaman di beberapa daerah, dampak keseluruhan dari perubahan iklim pada pertanian diharapkan menjadi negatif dan harus jauh lebih baik dipahami.

Energi
Kenaikan rata-rata pemanasan akan meningkatkan kebutuhan energi untuk ruang pendingin (tetapi mengurangi energi yang dibutuhkan untuk pemanasan), sekaligus meningkatkan permintaan energi untuk irigasi. Di sisi penawaran, ada pengaruh langsung pada tenaga air dan pembangkit listrik termal melalui ketersediaan air dan suhu air pendingin masing-masing. Peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian ekstrem seperti badai dan kenaikan permukaan laut dapat menyebabkan lebih banyak kegagalan sistem kelistrikan.

Hutan dan Ekosistem Lainnya
Perubahan hutan akan mempengaruhi sumber karbon hutan di beberapa wilayah di negara ini.

Kesehatan
Hasil pemodelan menunjukan bahwa tingkat kematian untuk wilayah yang disebabkan oleh demam berdarah, malaria dan diare akan meningkat dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. Morbiditas dan kematian akibat penyakit tersebut bisa meningkat di masa depan di bawah semua skenario.

Air
Meskipun siklus curah hujan tahunan monsun yang didominasi diperkirakan akan tetap tidak berubah di Asia Selatan, beberapa dekade mendatang diperkirakan memiliki musim dingin kering dan hangat dengan berkurangnya tutupan salju, sementara musim panas diperkirakan akan menjadi basah dan lebih hangat. Pola musiman arus sepanjang tahun bisa menjadi lebih tidak menentu, karena curah hujan segera diubah menjadi limpasan bukannya disimpan sebagai es.

Indonesia Negeri Maritim
Sebagai negara maritim, Indonesia tidak terlepas dari ancaman yang disebabkan oleh perubahan suhu di permukan bumi. Terlebih, 78% dari bumi indonesia adalah perairan. Tentunya hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan, terkait dengan rencana program pemerintah untuk mengembangkan sektor kemaritiman.
Sebagaimana dilansir dalam VIVAnews.com,

“kenaikan suhu rata-rata muka bumi di atas 2 derajat celcius, maka akan berdampak buruk bagi sumber daya maritim yang ada di Indonesia”.

“kenaikan suhu rata-rata muka bumi di atas 2 derajat celcius akan merusak terumbu karang di lautan yang ada Indonesia, yang berakibat semakin turunnya perkembangbiakan ikan di laut, karena terumbu karang merupakan tempat ikan bertelur,” kata Doddy S Sukadri, Anggota Karbon Dewan Nasional Perubahan Iklim di sela-sela acara Intergovermental Panel on Climate Change (IPPCC)’s fifth Assessment Report di Yogyakarta, selasa 11 November 2014.

Menurutnya, perairan laut di Indonesia merupakan salah satu segitiga terumbu karang di dunia, sehingga ketika terumbu karang tersebut rusak akibat perubahan iklim, maka menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk memaksimalkan sumber daya meritim yang ada.

Artinya, dalam menanggulangi masalah ini Indonesia tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara lain, terutama negara-negara terdekat atau negara tetangga. Karena faktanya, perubahan suhu di suatu wilayah akan mempengaruhi suhu di wilayah lain. Jadi perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan tekanan udara. Dalam skala besar hal ini sering memicu bencana yang disebabkan oleh tekanan udara yang sangat dahsyat, seperti tornado, yolanda dan lain sebagainya.

Ali Tuqeer Sheikh, Chief Executive Officer Climate and Development Knowledge Network (CDKN) mengatakan, dampak serius yang dapat dirasakan oleh Indonesia akibat peningkatan suhu udara di atas 2 derajat celcius diantaranya, rusaknya pertanian sehingga mengancam pasokan pangan bagi masyarakat, kerusakan terumbu karang yang mengancam perkembang biakan ikanyang ada di laut, merusak mata pencaharian masyarakat pesisir, ketersediaan air bersih, merebaknya wabah penyakit, aktivitas migrasi, hingga konflik perebutan sumber daya alam.

“bahkan sangat dimungkinkan kawasan Indonesia bagian Timur yang terkenal kering karena jarang terjadi hujan akan menjadi gurun yang panas dan tandus,” katanya.

Menurutnya, kenaikan suhu udara di Asia Selatan dan Asia Tenggara selama abad 20 dan tahun 2000-an dampaknya kini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat dan telah mengancam gangguan ketersediaan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup manusia.

“seperti kejadian tiga kali topan yang melanda Filipina dalam kurun waktu 12 bulan, salah satunya Topan Hainan dengan kecepatan 310km/jam telah menjadi bencana terburuk yang melanda Negara Filipina, akibat dari pemanasan suhu muka bumi,” katanya.

SUMBER

Sabtu, 01 November 2014

REFORMASI PENDIDIKAN



REFORMASI PENDIDIKAN













DISUSUN OLEH: KELOMPOK V
©      Vegi Dwi Januaristy
©      Selmi S.Saru
©      Iswanto Kuma’a
©      Mohammad Tou


















UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PENDIDIKAN EKONOMI
2014
REFORMASI PENDIDIKAN
(Ditujukan sebagai tugas kelompok (kelompok V) Mata Kuliah Profesi Pendidikan semester ganjil/III)
























KATA PENGANTAR
            Reformasi Birokrasi bidang pendidikan telah bergulir sejak ditetapkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan dasar tersebut selaras dengan Undang-undang tentang Pemerintah daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, reformasi dilakukan antara lain dengan memberikan kewenangan pengelolaan dan proses pendidikan Dikdas dan Dikmen di tingkat profinsi maupun kabupaten/kota, antara lain dengan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS). Reformasi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan ini harus didukung dengan Sumber Daya Manusia Pendidikan yang memiliki kompetensi yang memadai di seluruh daerah (Wukir, 2013:V).
            Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School-Based Management (SBM) mulai disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan pendidikan sekolah (stakeholders) melalui pelbagai kegiatan pelatihan capacity building  yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga bantuan asing yang bergerak di Indonesia. Misalnya, USAID dalam program Managing Basic Education (MBE), telah meluncurkan tiga materi utama dalam pelatihan yang dilaksanakan, yaitu (1) Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), (2) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan (3) Peran Serta Masyarakat (PSM).
            Makalah ini akan membahas tentang bagaimana pradigma MBS sebagai sesuatu yang “baru”, kaitannya dengan otonomi pada sekolah-sekolah, penerapannya dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah, serta pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan sebagai bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan.

Gorontalo, 14 Oktober 2014
Kelompok V

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1  Latar belakang............................................................................................................... 1
1.2  Rumusan masalah.......................................................................................................... 2
1.3  Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
2.1 Pengertian MBS............................................................................................................ 3
2.2 MBS Sebagai Paradigma Baru...................................................................................... 4
2.3 Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah-sekolah.......................................................... 6
2.4 Pengelolaan Pendidikan pada Tingkat Sekolah............................................................. 12
2.5 Pemberdayaan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.............................................. 14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 21
3.2 Saran.............................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 22




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Orang bijak mampu menjebatani antara visi dan implementasi,
Dengan membuat jalur ke tujuan yang ingin dicapai
(JP Morgan, pebisnis termana AS)
Perubahan orientasi perencanaan dan manajemen pendidikan dari pendekatan birokratik dan sentralistik ke arah pendekatan yang demokratik, akan mengubah pula metodologi perencanaan dan manajemen pendidikan
(H.A.R Tilaar)
Education is seen as a way to empower people, improve their quality of life and increase their capacity to participate in the decision – making processes leading to social, cultural and economic policies
(UNESCO)
            Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang tiga jalur pendidikan yang saling terkait dan saling memengaruhi antara ketiganya, yaitu (1) jalur pendidikan formal. (2) jalur pendidikan nonformal, dan (3) jalur pendidikan informal. Disini kami akan membahas tentang jalur pendidikan formal yang sering disebut sebagai jalur pendidikan sekolah, khususnya tentang aspek – aspek yang terkait  dengan manajemen atau pengelolaan pendidikan sekolah atau dewasa ini telah  dikembangkan suatu konsep  yang dikenal dengan manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS) (Suparlan, 2013:1).
            Sebagaimana kita ketahui, urusan pendidikan pada umumnya, dan pendidikan sekolah pada khususnya, telah didesentralisasikan dan diotonomikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini sejalan dengan adanya perubahan paradigma sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan sentralistis menjadi sistem desentralistis atau yang kemudian dikenal dengan otonomi pendidikan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah telah menyerahkan urusan kewenangan pemerintahan, khususnya urusan pendidikan, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
            Dalam UU No. 32 pasal 13 ayat (1), pada poin ke-6 “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia yang potensial” (Suparlan, 2013:5), jelas menekankan bahwa sistem pendidikan telah di desentralisasikan ke tiap-tiap daerah. Selain itu pada pasal 14 ayat (1) point ke-6 juga menyebutkan adanya penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.2.1        Apakah makna Reformasi Pendidikan dan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
1.2.2        Bagaimanakah eksistensi MBS sebagai paradigma baru dalam dunia pendidikan?
1.2.3        Bagaimanakah relevansi MBS menuju otonomi pada tingkat sekolah-sekolah?
1.2.4        Bagaimanakah pengelolaan ndidikan pada tingkat sekolah?
1.2.5        Bagaimanakah relevansi pemberdayaan DP-KS?
1.3  TUJUAN
1.3.1        Mengetahui dan memahami paragidma MBS sebagai suatu yang baru dalam  dunia pendidikan
1.3.2        Mengetahui dan memahami relevansi MBS untuk mewujudkan otonomi pada tingkat sekolah-sekolah.
1.3.3        Mengetahui dan memahami proses pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah.
1.3.4        Mengetahui dan memahami perihal pemberdayaan DP-KS.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MAKNA REFORMASI PENDIDIKAN DAN PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
2.1.1 Makna Reformasi Pendidikan
            GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105 dalam Tirtarahardja & La Sulo, 2010:36) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
            Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (fc4pentingers.wordpress.com). Sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai upaya atau proses untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
            Reformasi sendiri secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa ( wikipedia.org ). Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari reformasi pendidikan yaitu sebuah perubahan sistem dalam pendidikan sebagai upaya atau proses untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
            Perlu diketahui bahwa reformasi merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan terhadap pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan tersebut. Dalam hal ini, proses reformasi bukanlah hal yang radikal dan berlangsung dalam waktu singkat, tetapi merupakan proses perubahan yang terencana dan bertahap.
2.1.2 Pengertian Reformasi Pendidikan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan padanan kata dari School-Based Management (SBM). Dalam hal ini Bank Dunia (The Wolrd Bank) telah memberikan pengertian bahwa “school-Based Management is the centralization of levels of authority to the school level. Responsibility and decision-making over school operations is transferred to principals, teachers, parents, sometimes students, and other school community members. The school-level actors, however, have to confor to, or operate, within a set of centrally determined policies”. (“MBS adalah desentralisasi level otoritas penyelenggaraan sekolah kepada level sekolah. Tanggung jawab dan pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan atau penyelenggaraan sekolah telah diserahkan kepada kepala sekolah, guru-guru, para orang tua siswa, kadang-kadang peserta didik atau siswa, dan anggota komunitas sekolah yang lainnya”) (Suparlan, 2013:49).
            Berdasarkan pengertian tersebut, penerapan MBS disatuan pendidikan sekolah sesungguhnya terkait dengan bagaimana prooses penentuan kebijakan sekolah harus ditetapkan oleh sekolah. Dengan konsep MBS proses penentuaj kebijakan harus ditetapkan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan di sekolah.inilah sesungguhnya yang dikenal sebagai indikator atau karakteristik utama MBS. Jika sebelumnya kepala sekolah menentukan semua kebijakan sekolah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan sekolah, maka dengan MBS kepala sekolah harus menerapkan kepemimpinan partisipatif, yaitukepemimpinan dengan prinsip memberikan pelibatan secara luas keppada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara demokratis. Otokrasi (kekuasaan diri-sendiri) kepala sekolah harus berubah menjadi demokrasi (kekuasaan rakyat) atau keterlibatan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Akibatnya, keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan kebijaksanaan tersebut nanti akan menjadi keberhasilan atau pun kegagalan bersama (Suparlan, 2013: 50).
2.2 MBS SEBAGAI PARADIGMA BARU
            Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalan visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berahklak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tegnologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan (Hamzah, 2012:84).
            Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena sebelumnya kita pernah memiliki Inpres No. 10/1973. Sekolah – sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengemmbalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu asyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah (Hamzah, 2012:84).
            Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatnyalah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakatuntuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan (Hamzah, 2012:85).
            Di sisi lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metode belajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat beerja sama untuk memecahkan masalah – masalah menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu, kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka dan memahami dengan cepat cara-craa pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing (Hamzah, 2012:85).
            Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitas dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitas ini mungkin berbentuk Capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan, baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara objektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang andal dan terbakukan secara nasional Hamzah, 2012:85).
            Pada intinya sebagai sebuah paradigma “baru” MBS didukung oleh berbagai sisi, yaitu (1) sisi regulasi, (2) sisi moral, dan (3) sisi lainnya (kepala sekolah, guru, siswa dan stakeholders. Dari sisi regulasi kita dapat mengetahui bahwa sistem pendidikan yang sekarang ini disebut sebagai MBS, ternyata sudah pernah diterapkan jauh sebelum ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Otda. Buktinya adalah Instruksi Presiden SDN No. 10/1973 yang merupakan titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan ditanah air. Melalui Inpres tersebut pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak saat itu, perlahan namun pasti rasa memiliki masyarakat mulai pudar bahkan menghilang.
            Lebih jauh lagi jika kita menengok sejarah bangsa, banyak sekali madrasah – madrasah yang berdiri dari kepedulian akan pendidikan, kerja sama dan gotong royong masyarakat. Seperti Podok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada tahun 1899.
            Terlahir dengan nama Muhammad Hasyim, K.H Hasyim Asy’ari termasuk dalam keturunan ningrat dan ulama. Pada tahun 1899, sekembalinya dari belajar di mekkah selama 7 tahun, ia mulai mendirikan sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Pondok pesantren itu diberi nama Tebuireng. Dalam mengajar, ia tidak hanya mendidik murid-murid dengan ilmu agama dan bahasa Arab, tetapi juga membaca dan menulis latin, berorganisasi, pengetahuan umum, dan lain-lain (Ajisaka, 2010:50).
2.3 MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SEKOLAH-SEKOLAH
            Desentralisasi pemerintahan, otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan MBS sesungguhnya merupakan satu kontinum kebijakan pemerintah yang saling terkait. Desentralisasi pemerintahan yang telah melahirkan otonomi daerah, khususnya dalam bidang pendidikan (UU No. 32 pasal 13 ayat (1), pada poin ke-6 “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia yang potensial” dan pasal 14 ayat (1) point ke-6 tentang penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota), dan kemudian dalam penyelenggaraan pendidikan, otonomi tersebut telah melahirkan satu kebijakan yang kemudian dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS). Itulah sebabnya, kebijakan MBS dapat disebut sebagai pengejawantahan dari kebijakan pemerintah yang lebih tinggi, yaitu desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah (Suparlan, 2013:10-11).
            Paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat (Hamzah, 2012:85-86).
            Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” sangat kompleks dan tidak terbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat tersebut (Hamzah, 2012:86).
            Penyederhanaan konsep masyarakat tersebut dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa mempresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekola-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Penddidikan. Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya (Hamzah, 2012:86).
            Namun, untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan Capacity Building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan, baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir – butir yang disebut di atas. Kegiatan Capacity Building tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui penahapan sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable). Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan Capacity Building bagi setiap satuan pendidikan (Hamzah, 2012:88).
2.3.1 Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Hamzah, 2012:88).
2.3.1.1 Tahap Praformal; Satuan pendidikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis, yaitu belum dapat memiliki sumber – sumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber pendidikan, satuan pendidian ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan – satuan pendidikan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikan tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas (Hamzah, 2012:88).
2.3.1.2 Tahap Formalitas; Satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber – sumber pendidikan 9yang memadai secara minimal. Satuan – satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran, serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya (Hamzah, 2012:88).
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang  sudah mencapai standar minimal teknis ini, Capacity Building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administrator (sperti kepala sekolah) dan pelaksana pendidikan (seperti guru – guru, instruktur, tutor, dan sebagainya) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan roses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan maka satuan – satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran – ukuran output pendidikan, seperti tinkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
2.3.1.3 Tahap Transisional; Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber – sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan fasilita pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pad setiap satuan pendidikan. Jika satuan – satuan pendidikan sudah mencapai tahap transisional, selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke perkembangan tahap berikutnya, yaitu tahap otonom (meaning) (Hamzah, 2012:88-89).
2.3.1.4 Tahap Otonomi; Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimum) dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya (Hamzah, 2012:89).
Dari tahap – tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda – beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya.
2.3.2 Strategi tersebut adalah sebagai berikut (Hamzah, 2012:89).
2.3.2.1 Terhadap kelompok satuan pendidikan pada tahap praformal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memadai untuk dapat mencapai tahap perkembangan berikutnya.
2.3.2.2 Tehadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai standar teknis (tahap formalitas), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan kemampuan enaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
2.3.2.3 Terhadap satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap transisional, perlu dikembangkan siste manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan  serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2.3.2.4 Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercpaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sisten pendataan yang akurat, relevan, lengkap, dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dan dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini hrus dilakukan dari tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, profinsi sampai dengan tingkat nasional.
2.4 PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA TINGKAT SEKOLAH
Before beginning, plan carefully.
(Markus Tulius Cicero, Roman Statesman and orator, 106-43 SM)
Aman who doesn’t plan long ahead will find trouble at his door.
(Confucius, Chinese philosopher and religious leader, 551-479 SM)
Orang tua murid masih merasa dipinggirkan dalam penentuan jenis pungutan sekolah
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
            School-Based Management: can it work in Indonesia? Itulah sebuah judul tulisan dalam surat kabar The Jakarta Post, tanggal 2 Maret 2007. Tulisan itu merupakan tulisan yang amat menggelitik bagi pegiat pendidikan di Indonesia. Tulisan itu ditulis oleh Basilius Bengoteku dan Mark Heyward, dua orang pegawai pada Research Trianggle Institute (RTI), lembaga partner untuk USAID-funded Decentralized Basic Education Project yang melaksanakan pelatihan tentang MBS di Indonesia. Tulisan itu menjelaskan bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterbitkan, secara formal kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah diadopsi untuk 216.000 lembaga pendidikan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, termasuk madrasah negeri dan swasta (Suparlan, 2013:61).
            Artinya, proses adopsi kebijakan pendidikan MBS, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Di negara yang sudah maju, seperti Australia, New Zeland, Inggris, dan Kanada, MBS telah mulai dilaksanakan sejak tahun 80-an. Orang tua dan masyarakat peduli pendidikan di negara tersebut, dengan mendirikan satu lembaga yang dikenal dengan Komite Sekolah (School Committee). Komite Sekolah ini ikut terlibat dalam penentuan kebijakan sekolah, ikut menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), ikut menyusun dan menetapkan kurikulum, dan bahkan juga ikut serta dalam penetapan kepala sekolah. Untuk Indonesia, keikutsertaan Komite Sekolah, seperti penetapan kepala sekolah, mungkin tidak dapat dilakukan oleh Komite Sekolah, karena urusan itu lebih merupaka hak prerogratif kepala daerah, tidak akan mungkin diserahkan kepada institusi lain, selain Bupati/Walikota (Suparlan, 2013:62).
            Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut (Hamzah, 2012:90).
2.4.1 menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah karena hal ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukan oleh sekolah.
2.4.2 kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru dan tenaga administratif yang dimiliki.
2.4.3 menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah.
2.4.4 pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memerhatikan standar dan ketentuan yang ada.
2.4.5 penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan pemerintah profinsi dan kabupaten.
2.4.6 proses pengajaran dan pembelajaran.
2.4.7 urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berrbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
2.5 PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH DAN DEWAN PENDIDIKAN
            Berrdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka peningkatan dan pemberdayaan peran serta masyarakat perlu dibentuk dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam Undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Meteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai (1) advisor agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator (penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah) (Hamzah, 2012:92).
            Untuk dapat memberdayakan dan mengangkat peran serta masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keeberhasilan bersama. Dengan demikian prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan. Hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui mekanisma yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi keuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat (Hamzah, 2012:93).
2.5.1 Penyusunan Rencana dan Program
            Sebagai ujung tombak dari pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijkana pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah bertugas menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing – masing sekolah. Program – program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan mingguan, bulanan, semesteran, serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan, baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang disusun dan dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintah kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing – masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi “pendamping” bahkan “penyeimbang” bagi sekolah – sekolah. Oleh karena itu setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh komite sekolah yang dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap rencana dan program yang disusun oleh sekolah (Hamzah, 2012:93).
            Selain melaksanakan kurikulum yang ditetapkan dari pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, sekolah – sekolah juga dapat menyusun pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan life skills, Komite Sekolah dapat membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumber daya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan life skills yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program semester berikutnya (Hamzah, 2012:93).
2.5.2 Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
            Dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran ke depan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengan pos-pos pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah profinsi, pemerintah kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepennuhnya diperhitungkan sebagaipendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama, baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh komite sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan (Hamzah, 2012:94).
            Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama, baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak komite sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua belah pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS, yang harus disahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan komite sekolah yang ditanda tangani oleh kepala sekolah dan ketua komite sekolah sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang reami. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan, baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien (Hamzah, 2012:94).
2.5.3 Pelaksanaan Program Pendidikan
            Sistim pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang mulai dari tingkat pusat, daerah, bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu, sekolah-sekolah adalah bagian dari sistim birokrasi yang harus tunuk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits for all) atau dilakukan secara baku dengan pengaturan dari pusat, mulai dari perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan, sampai pada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur  dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempaan untuk mengambil keputusan sendiri dalam mengelola sistim pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metode mengajar dan teknik evaluasi diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dsari pusat (Hamzah, 2012:95).
            Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melaui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luansnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainnan dimungkinkan untuk menggunakan sistim dan pendekatan pembelajaran yang berlainnan. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber daya pendidikan sendiri-sendiri. Asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Dikarenakan karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual maka pendekatan pembelajaran pun dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainnan (Hamzah, 2012:95).
            Dalam kedaan seperti itu maka dewan pendidikan dan Komite sekolah akan dapat melaksanakan peran dna fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan  proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing di sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta untuk ikut meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual. Sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan Pendidikan pada setiap kabupaten/kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau penelitian terhadapberbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada dinas kabupaten/kota untuk menerapkan suatu kebijakan dan kena sasaran. Dewan pendidikan juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan, terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapan suatu kebijakan baru (Hamzah, 2012:95).
2.5.4 Akuntabilitas Pendidikan
            Pada masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggung jawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menetapkan “kaki tangan” nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksaan, pengawasan, atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggung jawaban sekolah-sekolah mengenai proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Jika terjadi “penyimpangan administratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, dan sejenisnya. Namun, penilaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sanksi (punihsment) atau ganjaran “rewards” kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dari pembelajaran murid atau lulusan (Hamzah, 2012:96).
            Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota perlu menetapkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggung jawaban atas hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dewan pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada dinas pendidikan jika hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya, komite sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orang tua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah. Dewan pendidikan atau komite sekolah tidak perlu melaksanakan studi atau penilaian pendidikan, tetapi cukup dengan menggunaka data-data yang tersedia atau hasi-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidak puasan masyarakat terhadap dinas pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian, diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu peraturan daerah di bidang pendidikan (Hamzah, 2012:96).

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
            Penerapan MBS pada satuan pendidikan sekolah merupakan indikator kunci pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan pada level akar rumput. Jika dalam desentralisasi atau otonnomi urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan telah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota maka pada level yang paling bawah, penerapan desentralisasi  atau otonomi pendidikan tersebut telah diserahkan kepada saruan pendidikan sekolah melalui penerapan MBS. Dengan penerapan MBS, masyarakat peduli pendidikan terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dalam pelaksanaan program pendidikan. Melalui MBS, semua unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dalam bidang pendidikan dapat meningkatkan sinergi untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah disepakati bersama, yakni pendidikan yang merata dan bermutu.
3.2 SARAN
            Untuk menghindari dampak negatif pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dan otonomi daera, sesungguhnya kita memang harus memahami bahwa pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah harus memenuhi prasyarat penting, yaitu:
3.2.1 demokrasi;
3.2.2 transparasi; dan
3.2.3 akuntabilitas
            Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan di daerah atau di sekolah harus melibatkan secara demokratis para pemangku kepentingan, mulai dari tahap perencanaan pendidikan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan penilaian program pendidikan. Disamping itu, dalam pelaksanaan semua fungsi manajemen tersebut harus dilaksanakan secara transparan. Selain itu, proses dan hasil pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan harus dilaporkan dalam rangka akuntabilitas publik.








DAFTAR PUSTAKA
Suparlan, M.Ed., 2014. “ Manajemen Berbasis Sekolah, dari teori sampai dengan praktik”. Jakarta. Bumi Aksara. Edisi 1.
Uno B. Hamzah, 2012. “Profesi Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia”. Jakarta. Bumi Aksara. Edisi 1.
Ajisaka Arya, 2010. “Mengenal Pahlawan Indonesia”. Jakarta. Kawan Pustaka.
Dr. H. Wukir, SH. M.Ed, 2013. “Manajemen Sumber Daya Manusia, dalam organisasi sekolah”. Yogyakarta. Multi Presindo.
Endraswara Suwardi, M.Hum., 2014. “Guru Sejati, Jalan Untuk Menemukan Kemurnian Abadi Di Antara Kekotoran Duniawi”. Yogyakarta. NARASI (Anggota IKAPI).
Tirtarahardja & La Sulo, 2010. “Pengantar Pendidikan”. Jakarta. Rineka Cipta. h.36
SITUS INTERNET: