DISUSUN OLEH: KELOMPOK V
© Vegi Dwi Januaristy
© Selmi S.Saru
© Iswanto Kuma’a
© Mohammad Tou
UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
PENDIDIKAN
EKONOMI
2014
(Ditujukan sebagai
tugas kelompok (kelompok V) Mata Kuliah Profesi Pendidikan semester ganjil/III)
KATA
PENGANTAR
Reformasi
Birokrasi bidang pendidikan telah bergulir sejak ditetapkan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan dasar tersebut selaras dengan Undang-undang tentang Pemerintah daerah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, reformasi dilakukan antara lain dengan
memberikan kewenangan pengelolaan dan proses pendidikan Dikdas dan Dikmen di
tingkat profinsi maupun kabupaten/kota, antara lain dengan Menejemen Berbasis
Sekolah (MBS). Reformasi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan ini harus
didukung dengan Sumber Daya Manusia Pendidikan yang memiliki kompetensi yang
memadai di seluruh daerah (Wukir, 2013:V).
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School-Based Management (SBM) mulai
disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan pendidikan sekolah (stakeholders) melalui pelbagai kegiatan
pelatihan capacity building yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga
bantuan asing yang bergerak di Indonesia. Misalnya, USAID dalam program Managing Basic Education (MBE), telah
meluncurkan tiga materi utama dalam pelatihan yang dilaksanakan, yaitu (1)
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), (2) Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), dan (3) Peran Serta Masyarakat (PSM).
Makalah ini akan membahas tentang bagaimana pradigma MBS
sebagai sesuatu yang “baru”, kaitannya dengan otonomi pada sekolah-sekolah,
penerapannya dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah, serta
pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan sebagai bukti tanggungjawab
masyarakat terhadap pendidikan.
Gorontalo, 14 Oktober 2014
Kelompok V
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah.......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
2.1 Pengertian MBS............................................................................................................ 3
2.2 MBS Sebagai Paradigma
Baru...................................................................................... 4
2.3 Menuju Otonomi pada
Tingkat Sekolah-sekolah.......................................................... 6
2.4 Pengelolaan Pendidikan
pada Tingkat Sekolah............................................................. 12
2.5 Pemberdayaan Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan.............................................. 14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 21
3.2 Saran.............................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Orang bijak mampu menjebatani antara visi dan implementasi,
Dengan membuat jalur ke tujuan yang ingin dicapai
(JP Morgan, pebisnis termana AS)
Perubahan orientasi perencanaan dan manajemen pendidikan dari
pendekatan birokratik dan sentralistik ke arah pendekatan yang demokratik, akan
mengubah pula metodologi perencanaan dan manajemen pendidikan
(H.A.R Tilaar)
Education is seen as a way to empower people, improve their quality
of life and increase their capacity to participate in the decision – making
processes leading to social, cultural and economic policies
(UNESCO)
Undang-undang RI No.20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang tiga jalur
pendidikan yang saling terkait dan saling memengaruhi antara ketiganya, yaitu
(1) jalur pendidikan formal. (2) jalur pendidikan nonformal, dan (3) jalur
pendidikan informal. Disini kami akan membahas tentang jalur pendidikan formal
yang sering disebut sebagai jalur pendidikan sekolah, khususnya tentang aspek –
aspek yang terkait dengan manajemen atau
pengelolaan pendidikan sekolah atau dewasa ini telah dikembangkan suatu konsep yang dikenal dengan manajemen pendidikan
berbasis sekolah (MBS) (Suparlan, 2013:1).
Sebagaimana kita ketahui, urusan pendidikan pada umumnya,
dan pendidikan sekolah pada khususnya, telah didesentralisasikan dan diotonomikan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini sejalan
dengan adanya perubahan paradigma sistem pemerintahan, yakni sistem
pemerintahan sentralistis menjadi sistem desentralistis atau yang kemudian
dikenal dengan otonomi pendidikan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah
telah menyerahkan urusan kewenangan pemerintahan, khususnya urusan pendidikan,
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
Dalam UU No. 32 pasal 13 ayat (1), pada poin ke-6
“penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia yang potensial”
(Suparlan, 2013:5), jelas menekankan bahwa sistem pendidikan telah di
desentralisasikan ke tiap-tiap daerah. Selain itu pada pasal 14 ayat (1) point
ke-6 juga menyebutkan adanya penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah kabupaten/kota.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.2.1
Apakah makna Reformasi
Pendidikan dan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
1.2.2
Bagaimanakah eksistensi MBS
sebagai paradigma baru dalam dunia pendidikan?
1.2.3
Bagaimanakah relevansi MBS
menuju otonomi pada tingkat sekolah-sekolah?
1.2.4
Bagaimanakah pengelolaan
ndidikan pada tingkat sekolah?
1.2.5
Bagaimanakah relevansi
pemberdayaan DP-KS?
1.3
TUJUAN
1.3.1
Mengetahui dan memahami
paragidma MBS sebagai suatu yang baru dalam
dunia pendidikan
1.3.2
Mengetahui dan memahami
relevansi MBS untuk mewujudkan otonomi pada tingkat sekolah-sekolah.
1.3.3
Mengetahui dan memahami
proses pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah.
1.3.4
Mengetahui dan memahami
perihal pemberdayaan DP-KS.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MAKNA REFORMASI PENDIDIKAN DAN PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAH (MBS)
2.1.1 Makna Reformasi
Pendidikan
GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105 dalam Tirtarahardja & La Sulo,
2010:36) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut:
Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan
berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk
meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia
serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat
sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan
sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan
alam dan masyarakatnya (fc4pentingers.wordpress.com). Sehingga pendidikan dapat
diartikan sebagai upaya atau proses untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat
dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga
mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Reformasi sendiri secara umum berarti perubahan terhadap
suatu sistem yang telah ada pada suatu masa ( wikipedia.org ). Jadi dapat
disimpulkan bahwa makna dari reformasi pendidikan yaitu sebuah perubahan sistem
dalam pendidikan sebagai upaya atau proses untuk meningkatkan kecerdasan serta
harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii
sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat
memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa.
Perlu diketahui bahwa reformasi merupakan bagian dari
dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan
terhadap pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
perkembangan tersebut. Dalam hal ini, proses reformasi bukanlah hal yang
radikal dan berlangsung dalam waktu singkat, tetapi merupakan proses perubahan
yang terencana dan bertahap.
2.1.2 Pengertian Reformasi
Pendidikan
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) merupakan padanan kata dari School-Based Management (SBM). Dalam hal ini Bank Dunia (The Wolrd Bank) telah memberikan
pengertian bahwa “school-Based Management
is the centralization of levels of authority to the school level.
Responsibility and decision-making over school operations is transferred to
principals, teachers, parents, sometimes students, and other school community
members. The school-level actors, however, have to confor to, or operate,
within a set of centrally determined policies”. (“MBS adalah desentralisasi
level otoritas penyelenggaraan sekolah kepada level sekolah. Tanggung jawab dan
pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan atau penyelenggaraan sekolah telah
diserahkan kepada kepala sekolah, guru-guru, para orang tua siswa,
kadang-kadang peserta didik atau siswa, dan anggota komunitas sekolah yang
lainnya”) (Suparlan, 2013:49).
Berdasarkan pengertian tersebut, penerapan MBS disatuan
pendidikan sekolah sesungguhnya terkait dengan bagaimana prooses penentuan
kebijakan sekolah harus ditetapkan oleh sekolah. Dengan konsep MBS proses
penentuaj kebijakan harus ditetapkan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan di
sekolah.inilah sesungguhnya yang dikenal sebagai indikator atau karakteristik
utama MBS. Jika sebelumnya kepala sekolah menentukan semua kebijakan sekolah
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan sekolah, maka
dengan MBS kepala sekolah harus menerapkan kepemimpinan partisipatif,
yaitukepemimpinan dengan prinsip memberikan pelibatan secara luas keppada semua
pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
secara demokratis. Otokrasi (kekuasaan diri-sendiri) kepala sekolah harus
berubah menjadi demokrasi (kekuasaan rakyat) atau keterlibatan semua pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Akibatnya, keberhasilan
atau kegagalan dari pelaksanaan kebijaksanaan tersebut nanti akan menjadi
keberhasilan atau pun kegagalan bersama (Suparlan, 2013: 50).
2.2 MBS SEBAGAI PARADIGMA
BARU
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah telah tercermin dalan visi pembangunan pendidikan nasional yang
tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional
yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berahklak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin,
bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tegnologi”.
Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai
komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak
mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era
tanpa batas ke depan (Hamzah, 2012:84).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut
suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti
paradigma ini “baru” sama sekali, karena sebelumnya kita pernah memiliki Inpres
No. 10/1973. Sekolah – sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya
diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana
pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan
masyarakatnya. MBS bermaksud “mengemmbalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu
asyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali sepenuhnya
terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah (Hamzah, 2012:84).
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan
masyarakatnyalah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang
dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, merekalah yang
seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang mengetahui
apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan,
apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah
dapat “berunding” dengan masyarakatuntuk memecahkan berbagai persoalan
pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana
pendidikan (Hamzah, 2012:85).
Di sisi lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami,
mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos
atau putus sekolah, metode belajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya
dapat dilaksanakan dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat
beerja sama untuk memecahkan masalah – masalah menyangkut proses pembelajaran
tersebut. Untuk itu, kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan
kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka dan
memahami dengan cepat cara-craa pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya
masing-masing (Hamzah, 2012:85).
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang
menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup
dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu
diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh
panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan
fasilitas dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu
dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitas ini mungkin berbentuk Capacity building, bantuan teknis
pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan,
serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan, baik tingkatan
daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara objektif,
pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan
yang andal dan terbakukan secara nasional Hamzah, 2012:85).
Pada intinya sebagai sebuah paradigma “baru” MBS didukung
oleh berbagai sisi, yaitu (1) sisi regulasi, (2) sisi moral, dan (3) sisi
lainnya (kepala sekolah, guru, siswa dan stakeholders.
Dari sisi regulasi kita dapat mengetahui bahwa sistem pendidikan yang sekarang
ini disebut sebagai MBS, ternyata sudah pernah diterapkan jauh sebelum
ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Otda. Buktinya adalah Instruksi
Presiden SDN No. 10/1973 yang merupakan titik awal dari keterpurukan sistem
pendidikan, terutama sistem persekolahan ditanah air. Melalui Inpres tersebut
pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik
masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik
bahkan sentralistik. Sejak saat itu, perlahan namun pasti rasa memiliki
masyarakat mulai pudar bahkan menghilang.
Lebih jauh lagi jika kita menengok sejarah bangsa, banyak
sekali madrasah – madrasah yang berdiri dari kepedulian akan pendidikan, kerja
sama dan gotong royong masyarakat. Seperti Podok Pesantren Tebuireng yang
didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada tahun 1899.
Terlahir dengan nama Muhammad Hasyim, K.H Hasyim Asy’ari
termasuk dalam keturunan ningrat dan ulama. Pada tahun 1899, sekembalinya dari
belajar di mekkah selama 7 tahun, ia mulai mendirikan sebuah pondok pesantren
di Jombang, Jawa Timur. Pondok pesantren itu diberi nama Tebuireng. Dalam
mengajar, ia tidak hanya mendidik murid-murid dengan ilmu agama dan bahasa
Arab, tetapi juga membaca dan menulis latin, berorganisasi, pengetahuan umum,
dan lain-lain (Ajisaka, 2010:50).
2.3 MENUJU OTONOMI PADA
TINGKAT SEKOLAH-SEKOLAH
Desentralisasi pemerintahan, otonomi daerah dalam bidang
pendidikan dan MBS sesungguhnya merupakan satu kontinum kebijakan pemerintah
yang saling terkait. Desentralisasi pemerintahan yang telah melahirkan otonomi
daerah, khususnya dalam bidang pendidikan (UU No. 32 pasal 13 ayat (1), pada
poin ke-6 “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia yang
potensial” dan pasal 14 ayat (1) point ke-6 tentang penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah kabupaten/kota), dan kemudian dalam penyelenggaraan pendidikan, otonomi
tersebut telah melahirkan satu kebijakan yang kemudian dikenal dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS). Itulah sebabnya, kebijakan MBS dapat disebut sebagai
pengejawantahan dari kebijakan pemerintah yang lebih tinggi, yaitu
desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah (Suparlan, 2013:10-11).
Paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk
yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi,
partisipasi dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat
adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada
tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi ketiga pihak tersebut.
Masyarakat adalah stakeholder pendidikan
yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah, karena
mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak,
sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat
(Hamzah, 2012:85-86).
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” sangat
kompleks dan tidak terbatas (borderless)
sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai
stakeholder pendidikan. Untuk
penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi
sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat tersebut (Hamzah, 2012:86).
Penyederhanaan konsep masyarakat tersebut dilakukan
melalui “perwakilan” fungsi stakeholder,
dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan
Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa
mempresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat.
Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan
melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekola-sekolah dengan Komite
Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota
dengan Dewan Penddidikan. Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan
diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas
publik, fungsi pendukungan (supports),
serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya
(Hamzah, 2012:86).
Namun, untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan
mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan
program yang sistematis dengan melakukan Capacity
Building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan
pendidikan secara berkelanjutan, baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen
pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir – butir yang
disebut di atas. Kegiatan Capacity
Building tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui penahapan
sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan arahnya menjadi
jelas (straight foreward) dan terukur
(measurable). Terdapat empat tahapan
pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan Capacity
Building bagi setiap satuan pendidikan (Hamzah, 2012:88).
2.3.1 Keempat tahap
perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Hamzah, 2012:88).
2.3.1.1 Tahap Praformal;
Satuan pendidikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi
standar teknis, yaitu belum dapat memiliki sumber – sumber pendidikan (misalnya
guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya
sumber pendidikan, satuan pendidian ini belum memenuhi standar teknis sebagai
persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan
kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan – satuan pendidikan
ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat
dinaikan tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas (Hamzah, 2012:88).
2.3.1.2 Tahap Formalitas;
Satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah
memiliki sumber – sumber pendidikan 9yang memadai secara minimal. Satuan –
satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti
dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan
kualitas buku pelajaran, serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya
(Hamzah, 2012:88).
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, Capacity Building dilakukan melalui
peningkatan kemampuan administrator (sperti kepala sekolah) dan pelaksana
pendidikan (seperti guru – guru, instruktur, tutor, dan sebagainya) agar dapat
melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan
roses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini
sudah berhasil dilakukan maka satuan – satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan
ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur
dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang
menyangkut ukuran – ukuran output
pendidikan, seperti tinkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas,
tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan
sekolah.
2.3.1.3 Tahap Transisional;
Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah
mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan
mendayagunakan sumber – sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas
guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk
menambah anggaran dan fasilita pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan
lainnya yang mendukung best practices pelayanan
pendidikan pad setiap satuan pendidikan. Jika satuan – satuan pendidikan sudah
mencapai tahap transisional, selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke
perkembangan tahap berikutnya, yaitu tahap otonom (meaning) (Hamzah, 2012:88-89).
2.3.1.4 Tahap Otonomi; Satuan
pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan
sebagai tahap penyelesaian capacity
building menuju profesionalisasi satuan pendidikan dan pelayanan pendidikan
yang bermutu. Jika sudah mencapai tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah
mampu memberikan pelayanan atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimum)
dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya (Hamzah, 2012:89).
Dari tahap – tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda – beda
antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya.
2.3.2 Strategi tersebut
adalah sebagai berikut (Hamzah, 2012:89).
2.3.2.1 Terhadap kelompok
satuan pendidikan pada tahap praformal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi
satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan
kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memadai untuk dapat mencapai tahap
perkembangan berikutnya.
2.3.2.2 Tehadap kelompok
satuan pendidikan yang sudah mencapai standar teknis (tahap formalitas),
strategi capacity building dilakukan
melalui pelatihan dan pengembangan kemampuan enaga kependidikan, seperti kepala
sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal
dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan
mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan
inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran
yang paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini,
mereka ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
2.3.2.3 Terhadap satuan
pendidikan yang sudah mencapai tahap transisional, perlu dikembangkan siste
manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam
pendidikan serta mekanisme akuntabilitas
pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2.3.2.4 Strategi yang sangat
mendasar dalam capacity building adalah
pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercpaian standar teknis
dan standar minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem
indikator ini perlu didukung oleh sisten pendataan yang akurat, relevan,
lengkap, dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dan dilakukan monitoring
terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan
pendidikan. Sistem pendataan ini hrus dilakukan dari tingkat satuan pendidikan,
kecamatan, kabupaten/kota, profinsi sampai dengan tingkat nasional.
2.4 PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA TINGKAT SEKOLAH
Before beginning, plan carefully.
(Markus Tulius Cicero, Roman Statesman and orator, 106-43 SM)
Aman who doesn’t plan long ahead will find trouble at his door.
(Confucius, Chinese philosopher and religious leader, 551-479 SM)
Orang tua murid masih merasa dipinggirkan dalam penentuan jenis
pungutan sekolah
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
School-Based Management: can it work in
Indonesia? Itulah sebuah judul tulisan dalam surat kabar The Jakarta Post,
tanggal 2 Maret 2007. Tulisan itu merupakan tulisan yang amat menggelitik bagi
pegiat pendidikan di Indonesia. Tulisan itu ditulis oleh Basilius Bengoteku dan
Mark Heyward, dua orang pegawai pada Research Trianggle Institute (RTI),
lembaga partner untuk USAID-funded Decentralized Basic Education Project yang
melaksanakan pelatihan tentang MBS di Indonesia. Tulisan itu menjelaskan bahwa
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterbitkan, secara
formal kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah diadopsi untuk 216.000
lembaga pendidikan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, termasuk
madrasah negeri dan swasta (Suparlan, 2013:61).
Artinya, proses adopsi kebijakan pendidikan MBS, tidaklah
semudah membalikan telapak tangan. Di negara yang sudah maju, seperti
Australia, New Zeland, Inggris, dan Kanada, MBS telah mulai dilaksanakan sejak
tahun 80-an. Orang tua dan masyarakat peduli pendidikan di negara tersebut,
dengan mendirikan satu lembaga yang dikenal dengan Komite Sekolah (School Committee). Komite Sekolah ini
ikut terlibat dalam penentuan kebijakan sekolah, ikut menyusun Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS), ikut menyusun dan menetapkan kurikulum, dan bahkan
juga ikut serta dalam penetapan kepala sekolah. Untuk Indonesia, keikutsertaan
Komite Sekolah, seperti penetapan kepala sekolah, mungkin tidak dapat dilakukan
oleh Komite Sekolah, karena urusan itu lebih merupaka hak prerogratif kepala
daerah, tidak akan mungkin diserahkan kepada institusi lain, selain
Bupati/Walikota (Suparlan, 2013:62).
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat
sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai
urusan kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut (Hamzah, 2012:90).
2.4.1 menetapkan visi, misi,
strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting
sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah karena hal ini merupakan bukti
kemandirian awal yang harus ditunjukan oleh sekolah.
2.4.2 kewenangan dalam penerimaan
siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah
guru dan tenaga administratif yang dimiliki.
2.4.3 menetapkan kegiatan
intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh
sekolah.
2.4.4 pengadaan sarana dan
prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah,
dengan memerhatikan standar dan ketentuan yang ada.
2.4.5 penghapusan barang dan
jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang
ditetapkan pemerintah profinsi dan kabupaten.
2.4.6 proses pengajaran dan
pembelajaran.
2.4.7 urusan teknis edukatif
yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berrbasis sekolah
(MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan
kewenangan setiap satuan pendidikan.
2.5 PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH DAN DEWAN PENDIDIKAN
Berrdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka peningkatan dan
pemberdayaan peran serta masyarakat perlu dibentuk dewan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat
ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat
kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam Undang-undang
tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Meteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai (1) advisor agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan
layanan pendidikan), dan (4) mediator (penghubung atau pengait tali komunikasi
antara masyarakat dengan pemerintah) (Hamzah, 2012:92).
Untuk dapat memberdayakan dan mengangkat peran serta
masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan
masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik
dan warga sekolah. Itulah sebabnya paradigma MBS mengandung makna sebagai
manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat sehingga semua
kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama,
untuk mencapai keeberhasilan bersama. Dengan demikian prinsip kemandirian dalam
MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan. Hal ini merupakan aplikasi
dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total
quality management, melalui mekanisma yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada
mobilisasi keuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu
peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat
(Hamzah, 2012:93).
2.5.1 Penyusunan Rencana dan
Program
Sebagai ujung tombak dari pelaksanaan pendidikan, sekolah
bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan
kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijkana pendidikan yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan
pendidikan nasional, sekolah bertugas menjabarkan kebijakan pendidikan nasional
menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing –
masing sekolah. Program – program tersebut terdiri dari penyusunan dan
pelaksanaan rencana kegiatan mingguan, bulanan, semesteran, serta tahunan yang
sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan, baik pada
tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang
disusun dan dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan
minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintah kabupaten/kota serta standar
teknis yang diterapkan untuk masing – masing satuan pendidikan. Untuk dapat
memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi “pendamping” bahkan “penyeimbang”
bagi sekolah – sekolah. Oleh karena itu setiap rencana dan program yang disusun
oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang diwakili oleh komite sekolah yang dimaksud. Atas nama masyarakat yang
diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau “tidak setuju”
terhadap rencana dan program yang disusun oleh sekolah (Hamzah, 2012:93).
Selain melaksanakan kurikulum yang ditetapkan dari pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota, sekolah – sekolah juga dapat menyusun pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan life skills, Komite Sekolah dapat
membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan
serta potensi sumber daya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan
ke dalam program pendidikan life skills yang
dapat dilaksanakan oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah
melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester
atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan
program semester berikutnya (Hamzah, 2012:93).
2.5.2 Penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom,
sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan
dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu
semester atau satu tahun ajaran ke depan perlu dituangkan ke dalam
kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengan pos-pos
pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis
dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan
dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah profinsi,
pemerintah kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara
langsung oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh
sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepennuhnya diperhitungkan
sebagaipendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama, baik oleh pihak sekolah
(kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh komite
sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan
(Hamzah, 2012:94).
Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran
untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama, baik oleh pihak
sekolah maupun oleh pihak komite sekolah, sesuai dengan rencana dan program
yang telah disusun bersama oleh kedua belah pihak tersebut. Kedua sisi anggaran
tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan
RAPBS, yang harus disahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah
dan komite sekolah yang ditanda tangani oleh kepala sekolah dan ketua komite
sekolah sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang reami.
Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan, baik dalam
pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah sehingga anggaran resmi pendidikan
di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien (Hamzah,
2012:94).
2.5.3 Pelaksanaan Program
Pendidikan
Sistim pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan
pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata
rantai yang panjang mulai dari tingkat pusat, daerah, bahkan sampai tingkat
satuan pendidikan. Pada waktu itu, sekolah-sekolah adalah bagian dari sistim
birokrasi yang harus tunuk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan
penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits for all) atau dilakukan secara baku dengan pengaturan dari
pusat, mulai dari perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah
termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan
sarana pendidikan, sampai pada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada
sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan.
Kepala sekolah tidak diberikan kesempaan untuk mengambil keputusan sendiri
dalam mengelola sistim pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan
pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada
guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi
dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar murid secara
maksimal karena metode mengajar dan teknik evaluasi diatur secara langsung
melalui juklak dan juknis yang dibuat dsari pusat (Hamzah, 2012:95).
Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melaui
paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luansnya untuk
mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah.
Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainnan dimungkinkan
untuk menggunakan sistim dan pendekatan pembelajaran yang berlainnan. Kepala
sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan
mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber daya pendidikan sendiri-sendiri.
Asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat.
Dikarenakan karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual maka
pendekatan pembelajaran pun dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang
berlainnan (Hamzah, 2012:95).
Dalam kedaan seperti itu maka dewan pendidikan dan Komite
sekolah akan dapat melaksanakan peran dna fungsinya sebagai penunjang dalam
pelaksanaan proses pembelajaran yang
sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing di sekolah.
Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya
pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat
memberikan fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin,
sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta
untuk ikut meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid
secara kelompok maupun secara individual. Sehingga dapat membantu guru-guru
untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan
Pendidikan pada setiap kabupaten/kota dapat melaksanakan program pendukungan
dalam bentuk studi atau penelitian terhadapberbagai permasalahan pendidikan di
sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada dinas kabupaten/kota untuk
menerapkan suatu kebijakan dan kena sasaran. Dewan pendidikan juga dapat
memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan,
terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam
penerapan suatu kebijakan baru (Hamzah, 2012:95).
2.5.4 Akuntabilitas
Pendidikan
Pada masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang
untuk meminta pertanggung jawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah
pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menetapkan “kaki
tangan” nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksaan, pengawasan, atau
para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggung jawaban
sekolah-sekolah mengenai proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Jika terjadi “penyimpangan administratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah
atau guru-guru maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti
teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala,
penundaan kenaikan pangkat, dan sejenisnya. Namun, penilaian tersebut lebih
banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak
pernah ada sanksi (punihsment) atau
ganjaran “rewards” kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil
yang dicapai dari pembelajaran murid atau lulusan (Hamzah, 2012:96).
Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas
pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih
banyak pada masyarakat sebagai stakeholder
pendidikan. Dewan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota perlu menetapkan
fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggung jawaban atas
hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis
dan jenjang pendidikan. Dewan pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk
menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada dinas pendidikan jika hasil
pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya,
komite sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orang tua murid akan
rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah. Dewan pendidikan atau
komite sekolah tidak perlu melaksanakan studi atau penilaian pendidikan, tetapi
cukup dengan menggunaka data-data yang tersedia atau hasi-hasil penilaian yang
sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidak puasan
masyarakat terhadap dinas pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan
demikian, diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk
melalui suatu peraturan daerah di bidang pendidikan (Hamzah, 2012:96).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penerapan MBS pada satuan pendidikan sekolah merupakan
indikator kunci pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan
pada level akar rumput. Jika dalam desentralisasi atau otonnomi urusan
pemerintahan dalam bidang pendidikan telah diserahkan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota maka pada level yang paling bawah, penerapan desentralisasi atau otonomi pendidikan tersebut telah
diserahkan kepada saruan pendidikan sekolah melalui penerapan MBS. Dengan
penerapan MBS, masyarakat peduli pendidikan terlibat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dalam pelaksanaan program pendidikan.
Melalui MBS, semua unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dalam bidang pendidikan dapat meningkatkan sinergi
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah disepakati bersama, yakni
pendidikan yang merata dan bermutu.
3.2
SARAN
Untuk menghindari dampak negatif pelaksanaan
desentralisasi pemerintahan dan otonomi daera, sesungguhnya kita memang harus
memahami bahwa pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah harus memenuhi
prasyarat penting, yaitu:
3.2.1 demokrasi;
3.2.2 transparasi; dan
3.2.3 akuntabilitas
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan di
daerah atau di sekolah harus melibatkan secara demokratis para pemangku kepentingan,
mulai dari tahap perencanaan pendidikan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan
dan penilaian program pendidikan. Disamping itu, dalam pelaksanaan semua fungsi
manajemen tersebut harus dilaksanakan secara transparan. Selain itu, proses dan
hasil pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan harus dilaporkan dalam
rangka akuntabilitas publik.
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan, M.Ed., 2014. “ Manajemen
Berbasis Sekolah, dari teori sampai dengan praktik”. Jakarta. Bumi
Aksara. Edisi 1.
Uno B. Hamzah, 2012. “Profesi
Kependidikan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia”.
Jakarta. Bumi Aksara. Edisi 1.
Ajisaka Arya, 2010. “Mengenal
Pahlawan Indonesia”. Jakarta. Kawan Pustaka.
Dr. H. Wukir, SH. M.Ed, 2013.
“Manajemen
Sumber Daya Manusia, dalam organisasi sekolah”. Yogyakarta. Multi
Presindo.
Endraswara Suwardi, M.Hum.,
2014. “Guru Sejati, Jalan Untuk Menemukan Kemurnian Abadi Di Antara Kekotoran
Duniawi”. Yogyakarta. NARASI (Anggota IKAPI).
Tirtarahardja & La Sulo,
2010. “Pengantar Pendidikan”. Jakarta. Rineka Cipta. h.36
SITUS INTERNET: